|
Posted on: Senin, 24 Maret 2014 @ 5:00 PM | 0 footprint(s)
Kesalahpahaman
Perasaan, serupa dengan kesabaran, juga ada batasnya. Ketika lelah hati berontak dalam diam dan pengap seluruh rasa terkurung dalam senyap, akal bertindak lebih cepat dari biasanya. Memutuskan untuk berhenti adalah salah satu cara selain bertahan sebentar dan mencari pegangan untuk kemudian berusaha melupakan. Sayangnya, menyingkirkan segala kenangan atau melumpuhkan semua ingatan tidak semudah apa yang terbayang. Proses yang dilalui mungkin panjang. Bergantung pada sedalam apa perasaan atau kebodohan yang disalahpahami sebagai kesetiaan. Cih.
Posted on: Jumat, 21 Maret 2014 @ 11:15 PM | 0 footprint(s)
Ada
beberapa hal dalam hidup yang harus kita terima dengan lapang dada. Ada
juga beberapa yang ditangisi dulu, lalu menerima. Ada juga yang sedih
berkepanjangan sebelum akhirnya menerima. Menerima sepertinya menjadi
titik akhir dari semua. Ikhlas, rela, atau apapun namanya.
Saya tidak berharap pesan ini dibalas, atau dikomentari, atau ditimpali, atau apa saja yang berkaitan dengan hal ini. Saya butuh pembaca, yang saya yakini bisa mengeja ke-absurd-an pikiran saya. Mungkin saya sedng kacau, merasa marah terus-terusan , tak tahu harus berbuat apa sebab sesak di dalam dada menjelma sesuatu yang mendesak keluar dari mata. Saya tidak tahu, ini sedih, marah, kecewa, atau cemburu. Patah hati kali ini sungguh pilu. Membuat nafsu makan saya yang raksasa berubah menjadi kurcaci, menyebabkan badan saya kurusan (semoga tidak jadi lidi, sebab saya tidak suka menjadi kurus. Tidak sepertimu. Saya banyak menggambar akhir-akhir ini, sebab dengan begitu air mata yang saya punya mundur dengan teratur, karena saya menemukan semacam bahagia di antara goresan-goresan pensil saya, meskipun kacau dan shading-nya kurang pas, yang tiap malam menemani menghabiskan pikiran dan bercangkir-cangkir kopi yang membuat maag di pagi harinya. Terkadang ada hal-hal yang tidak kita ketahui yang menjadi penyebab nafas terasa berat, ingin menangis sejadi-jadinya, atau marah seharian. Boleh jadi libur yang berkepanjangan membuat sepi sunyi sendiri tiba mematikan akal. Saya. Tidak. Tahu. Padahal ini hanya 7 angka B yang muncul di antara lebih dari 7 angka A di transkrip nilai. Kekanak-kanakan sekali bukan jika saya ingin menangis hanya karena nilai B? Hahah. Iya, mungkin itu penyebabnya. -Juli, 2013
Posted on: Minggu, 24 Februari 2013 @ 12:46 AM | 0 footprint(s)
Kaku
Masih saja tidak bergerak.
Mencari arah untuk melangkah namun kaki masih menjejak di palung pengharapan akan
sosokmu untuk menjadi nyata. Masih saja bayangmu tegak lurus membelakangiku
tanpa menoleh memandang mataku yang buta. Buta akan semua manusia di bumi
selain kamu. Karena hanya kamu... yang ada di situ. Yang selalu kutunggu. Meski
aku selalu tahu bahwa menunggumu hanya menghabiskan sisa masa yang dipinjamkan
Tuhan padaku.
Posted on: Minggu, 06 Januari 2013 @ 12:47 AM | 2 footprint(s)
Satu tahun yang terlambat
Sedingin kopi di sudut jendela yang hangatnya menguap dan membaur bersama gigilnya hujan yang tersisa di kaca, mungkin. Beku atau mati...entah. Semua terasa begitu cepat. Kita jatuh cinta, menyalahkan waktu dan terluka, lalu saling melupakan. Meski kuakui bahwa aku tidak pernah benar-benar melupakan, karena tidak ada hal istimewa yang bisa pergi begitu saja dari pikiran seseorang Rasanya baru kemarin aku mendengar tawamu di sela-sela pembicaraan kita yang hangat berbulan-bulan yang lalu yang kini menjadi senyuman pahit di ujung malamku ketika aku berusaha untuk tidak mengingat kenangan itu. Sudah. Aku kehabisan kata.
Posted on: Sabtu, 18 Agustus 2012 @ 2:24 AM | 0 footprint(s)
Pernah Kita...
Hubungan kita seperti sebuah ruang pelarian. Kita akan menuju
ke arahnya ketika semua terasa sulit. Kamu dan dia. Aku dan dia yang lain. Tak
ada arah lain. Kita selalu kembali kepada kisah yang bermula ketika rumah yang
kau bangun bersamanya mendadak tak berpenghuni.
Kadang-kadang, dia memilih bersembunyi. Kau mencarinya.
Ketika kau tidak mendapatkannya, segera kau berlari menuju tempat pelarian
kita, hubungan ini. Tanpa sengaja kau bertemu denganku yang sibuk merenungi
pertengkaran dengan dia yang baru saja membuat rumah kami berantakan.
Kemudian seketika kita merasa nyaman dengan ini. Setiap kali
kita terjebak dengan situasi yang serupa, kita akan kembali ke tempat pelarian
ini.
Di tempat ini kita saling mencari, lalu saling merangkai janji
untuk menulis kisah sendiri. Berhari-hari kita begini. Saling menarik hati
untuk berbagi. Tanpa kita sadari kita hidup dalam mimpi. Kenyataannya, kita
punya hidup yang harus kita jalani.
Hanya beberapa minggu, dan kita memutuskan untuk berhenti.
Padahal, aku sudah terlanjur berharap terlalu banyak. Melepaskanmu begitu saja
membuat hari-hariku tidak sama lagi. Setiap malam aku lewati dengan ingatan
tentangmu yang membayangi.
Kenapa begini? Harusnya aku menjadi seorang yang kuat, sekuat
kakiku yang berlari ke arahmu kala tiada tempat untuk melangkahkan kaki.
Bodohnya, malam-malamku habis percuma dengan merapal doa agar kau bahagia
bersamanya, dan aku akan berusaha membahagiakan dia. Akhirnya, kisah kita
menggantung begini. Seperti jemuran yang belum kering akibat hujan yang mencium
bumi.
Hahaha, sudah sejuta manusia yang mengatakan aku bodoh luar
biasa. Tapi, aku tidak. Aku hanya belum bisa menemukan seseorang yang benar-benar bisa
membuatku merelakanmu sepenuhnya. Belum menemukan dia yang bisa membuatku
tersenyum tulus ketika melihatmu dalam pelukannya.
Aku sudah berusaha sejauh ini. Berusaha sekeras mungkin untuk
tidak kembali ke ruang pelarian kita. Meskipun terkadang pada hari-hari
tertentu aku kembali menunggumu di sana.
Banyak hal-hal kecil yang sulit aku lupa.
Pernah aku membuat sketsa untukmu. Itu kamu, yang kau sambut
dengan tawa renyahmu. Kemudian sketsa-sketsa lainnya tercipta oleh gores
pensilku yang semakin menumpul. Kini, sketsa-sketsa itu sudah aku bakar
hidup-hidup bersama perasaanku. Tapi perasaanku bukan kertas yang bisa hangus
seperti sketsa-sketsa itu.
Pernah kau menuliskan namaku dalam indahnya huruf-huruf yang
melengket itu. Sekarang aku menempelkannya di permukaan laptopku. Aku tidak
ingin membiarkannya lepas, biarkan ia tetap di sana. Juga kau buat sederet
huruf yang membentuk namamu yang kini tersimpan dalam kotak kenanganku.
Pernah suatu malam aku melemparkan kertas yang sudah kusut
karena cengkraman tanganku. Ketika kau membukanya, kau tertawa. Ada gambarmu di
sana. Gambarmu terlalu banyak garisnya, aku berkata. Tidak seperti caraku yang
memainkan perasaan di dalam gambar-gambar yang aku hasilkan. Kau tertawa ketika
aku berkata bahwa aliran kita beda. Ada banyak tawa yang aku dengar setiap kita
berbicara.
Pernah kita berlomba dalam sebuah momen di sekolah. Aku
selalu berada di posisi pertama, dan kau di posisi kedua. Kau bilang aku hebat,
tapi aku lebih mengidolakanmu dari yang kau kira. Kau bilang kau mengagumiku,
namun kau tidak tahu aku lebih memujamu lebih dari rasa kagum-mu terhadapku.
Pernah juga suatu malam kau menyuruhku untuk tidak begadang.
Katamu, perempuan tidak boleh melakukannya. Ha! Aku benci setiap kali dilarang
menghabiskan malam dengan tetap terjaga. Tapi betapa hebatnya perasaan yang
bermekaran di dalam hatiku ini, ketika kau yang mengucapkannya, yang aku rasakan
hangat menjalar. Aku senang bahwa kau peduli. Memintaku menjaga kesehatan,
memintaku tidak bermain hujan, memintaku tidak terlalu larut begadang, meski
akhirnya kau menyerah dan menemaniku semalaman.
Pernah kau bernyanyi dengan suara serakmu, mencoba
menidurkanku. Sampai aku kasihan dan berpura-pura tidur membiarkan kamu
membisikkan ‘tidur nyenyak’ di ujung telepon itu. Kau selalu menyuruhku
bernyanyi. Aku tidak akan melakukannya. Suaraku jelek, aku tidak tahu bagaimana
cara memainkan nada itu sehingga bisa terdengar merdu di telingamu.
Pernah kita saling menatap, pernah kita tertawa bersama,
pernah kita berjalan bersisian. Kau selalu mengimbangi kecepatan jalanku yang tidak
karuan. Aku perempuan yang berjalan sangat cepat. Tapi ketika di sampingmu, aku
melambatkan setiap langkahku agar bisa lebih lama berada di dekatmu. Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana anehnya cara jalanku waktu aku memperlambatnya
seperti itu. Tapi, pedulikah aku ketika ku tahu kau ada di sampingku, membuat
pipiku menggembung menahan rona yang memerah itu?
Ah, semua kenangan itu menghantam jurang kekecewaan begitu
aku tahu kau tidak akan pernah melepas dia yang menempatkanmu sebagai pacar
pertama di hatinya. Aku cemburu, padanya. Mengapa kita harus bertemu di ruang
pelarian itu untuk sekedar menumbuhkan harapan kemudian dihancurkan? Aku benci
itu. Aku benci ketika kita harus memutuskan untuk berhenti membuat kenangan
bersama-sama. Kita punya kenyataan yang tidak bisa ditinggalkan. Kita tidak
bisa lari dari kisah sebelumnya yang sudah terlanjur kita buat, sebesar apa pun
cinta yang kita punya, kita tetap tidak bisa lepas tanggung jawab.
Aku akan berjanji pada diriku sendiri, ini adalah tulisan
terakhir tentangmu, tentang kita, tentang ruang pelarian itu. Mungkin inilah
saatnya aku benar-benar melepaskan. Tidak lagi menyalahkan keadaan, atau
mengutuk waktu karena kita yang terlambat membuat kenangan.
Pernah kita saling mencinta, lalu terluka karenanya.
Posted on: Senin, 13 Agustus 2012 @ 1:46 AM | 0 footprint(s)
Aku
Apa yang bodoh ketika aku berkata rindu pada kau yang tak
lagi butuh?
Apa yang bodoh ketika merapal doa kuselipkan namamu yang tak
pernah lagi menyebut namaku?
Apa yang bodoh ketika memegang pensil yang tergambar rupamu
yang rupanya tak pernah lagi mengingat rupaku?
Apa yang bodoh ketika masih saja menunggumu berhenti
mencintai dia?
Sepertinya, jawabannya sudah jelas.
Posted on: Rabu, 08 Agustus 2012 @ 11:17 PM | 0 footprint(s)
Coret Sembarang
Posted on: Senin, 06 Agustus 2012 @ 2:38 PM | 0 footprint(s)
Mata Itu...
Jantung. Berdetak ia lebih kencang ketika sepasang kakimu menjejak di hadapanku. Entah pesona apa yang kau punya hingga sampai detik ini aku tidak bisa membenci. Mungkin kau terlalu baik. Dan aku tidak bisa membenci orang baik.
Jantung. Berhenti ia berdetak ketika sepasang matamu tanpa sengaja menangkap basah mataku yang diam-diam menatapmu. Aku tidak bisa melepaskan tatapan itu. Yang menjerat, hingga nyaris membuatku sekarat. Tajam, namun setitik kelembutan mengintip di balik bola hitam.
Jantung. Berusaha kusembunyikan suara detak yang keras dengan terus berbicara. Aku tidak ingat apa yang keluar dari mulutku dan berharap bukan namamu yang kedengaran dari sana.
Mantan, mereka bilang. Hubungan kita hanya berlaku hingga batas penggunaan 'sayang' sudah habis masanya. Ketika 'putus' terlontar dengan sendirinya menguasai emosi yang ada. Dan tangisku karena terluka.
Bagiku, kau hanya jodoh yang tertunda :D Seorang yang dengannya aku rasakan jantung yang hampir meloncat, yang membuatku diam-diam menggariskan senyum ketika melihat senyumnya.
Aku percaya, jodoh tidak akan kemana. Aku akan memperbaiki diriku, agar Tuhan memantaskan aku menjadi milikmu. Kalau tidak, mungkin kau yang tidak pantas memilikiku.
Posted on: Minggu, 29 Juli 2012 @ 1:13 AM | 0 footprint(s)
Dengarkan Hatimu!
Dengarkan hatimu, kata beberapa orang ketika kita sedang berada di antara dua
atau lebih pilihan sulit yang membingungkan.
Sekarang aku sedang mengalaminya. Pikiranku menyerang egoku dengan
pernyataan 'aku tidak mencintainya' dan 'aku berusaha mencintainya karena ingin
menyembuhkan luka sebelumnya'... Entah.
Memikirkannya semalaman bisa membuatku anemia esok paginya.
..
....
......
Mungkin, sebenarnya itu bukan pilihan. Mungkin... dua pernyataan itu merupakan sebuah kalimat yang menyatu. Aku tidak mencintainya dan aku berusaha mencintainya karena ingin menyembuhkan luka sebelumnya.
Well, bagaimana jika pernyataan itu diganti
dengan pertanyaan seperti, 'apakah kau mencintainya?' dan 'apakah dia hanya
pelarian?'.
Pelarian? Apakah orang yang memperbaiki
hari-harimu setelah dikacaukan oleh seseorang yang kau anggap menjadikanmu
satu-satunya pilihan dalam hatinya, yang melukiskan senyum di wajahmu setelah
kau lupa arti senyum itu, yang membuatmu perlahan lupa akan kehadiran orang
yang lama itu, disebut pelarian? Jika iya, maka dia memang pelarian yang
berlari-lari di setiap detik dalam pikiranku tanpa jeda.
Lantas harus disebut apa aku ini? Entah. Memikirkannya semalaman bisa membuatku anemia esok
paginya.
Orang bilang.... dengarkan hatimu. Tapi bagaimana jika hatimu
sedang enggan bicara sebab jauh hari sebelumnya ia trauma hingga bungkam sekian
lama?
Entah. Memikirkannya semalaman mungkin bisa juga membuatmu anemia
esok paginya.
Posted on: Jumat, 20 Juli 2012 @ 10:22 PM | 0 footprint(s)
Simpul Mati
Menjejak. Berhenti. Mengingat. Berlari. Tanpa sadar terantuk
realitas hingga jatuh tersungkur. Ingin berhenti sejenak memikirkan, namun
bayangmu tak juga lepas dari ingatan. Menjerat hati yang mengemis kebebasan
untuk mencinta. Mengikat rasa yang mengamuk meminta balas. Ikat simpul mati.
Merengkuh pahit yang menjelma menjadi luka yang aduh, tanpa ingat mengejar
sembuh.
Bahkan sebelum mencapai batas asa, diam-diam egomu
menembakkan peluru kecewa, tepat di kepalaku. Seakan ingin mematikan semua
memori yang merekam adanya kenangan itu.
Kusebut itu kenangan karena ia membekas. Memberikan efek
melankolis ketika aku dipaksa mengingatnya. Mengenang kembali semua rangkaian
kata yang kau ucap demi meyakinkanku untuk sekedar membayang cinta sejenak
saja. Hanya sebentar, kemudian menggiringku ke dalam pusaran yang aku sendiri
tak tahu kapan berakhirnya.
Membuatku mencinta, merindu, dan segala perasaan
yang entah apa namanya itu. Membuatku tertidur, lalu membangunkanku untuk
sekedar menemanimu menikmati senja yang hanya sebentar. Kemudian kau akan
kembali pada malammu yang panjang. Bercumbu dengannya, merangkaikan kata
untuknya. Menjanjikan cinta yang serupa.
Melupakanku sejenak. Membiarkanku bertanya-tanya, mencari
keberadaanmu yang sengaja bersembunyi di balik sejuta alasan yang entah mengapa
selalu saja membuatku percaya, dan menunggumu untuk kembali datang.
Bukankah kau yang menjanjikan kebahagiaan untukku? Apapun
asal buatku bahagia. Bukankah itu janjimu? Yang kau uraikan dengan tatapan yang
seakan tulus itu? Nyatanya, matamu sangat pintar berjudi dengan perasaanku.
Posted on: Kamis, 19 Juli 2012 @ 6:16 PM | 0 footprint(s)
Bukan Puisi
Karena aku pernah percaya.
Meski setiap kali kau mengumbar kata tanpa makna hanya untuk
sekedar membuatku terpesona.
Meski setiap kali kau menabur janji tanpa bukti hanya untuk
sekedar membuatku jatuh hati.
Meski setiap kali kau meminta tunggu tanpa ragu hanya untuk
sekedar membuatku tergugu
Kemudian...
Meninggalkan lambaian tangan perpisahan dan kenangan untuk
dilupakan.
Membiarkan hati terluka oleh harapan tanpa segan.
Setelahnya...
Kembali aku menanti tiada henti
Kembali kau mencari hingga tepi...
@ 4:36 PM | 0 footprint(s)
Mungkin Aku Hanyalah Senja
Akhirnya aku berlalu pergi. Kau enggan
peduli. Terus menatap batas langit tanpa tepi. Mencari sesuatu yang kau sebut
cinta mati.
Mungkin aku hanyalah senja yang hadir sekelebat saja,
menemanimu menanti malam yang sebentar lagi tiba. Dan dia adalah malam, yang bisa menikmati kehadiranmu
untuk waktu yang lama.
Mungkin aku hanyalah senja dalam harimu yang bisa tersenyum
hanya sejenak, merasakan cinta yang kau tumpuk menjadi kecewa. Dan kau adalah waktu, yang beranjak pelan menggapai malam yang panjang hingga pagi
menjelang.
Bila esok gelapnya malam yang selalu merindu tak lagi
bersamamu, jangan tanyakan keberadaanku. Aku akan memohon hujan membunuhku. Biar
malam nanti kau bisa menabur janji di atas makamku.
Mungkin aku hanyalah senja yang menjelma kehilangan...
Posted on: Selasa, 10 Juli 2012 @ 1:54 PM | 0 footprint(s)
Pindah
Sebentar lagi meninggalkan rumah. Pembicaraan sederhana tentang masa kecil tiba-tiba menjadi sangat berkesan. Teringat ketika kali pertama menginjakkan kaki di rumah, menyentuh cat dinding putih yang belum mengelupas. Semua kenangan bersama keluarga ikut berdesak-desakan memenuhi pikiran.
Ah, rasanya baru kemarin aku mengenakan seragam sekolah untuk pertama kalinya. Sekarang ketiga ijazah sudah dalam genggaman.
Waktunya untuk pindah.
@ 1:37 AM | 0 footprint(s)
Dia Lulus.
Mungkin Tuhan mengerti bahwa aku tidak bisa hidup sendiri... 6 Juli. Hari itu adalah hari yang mendebarkan. Status tentang SNMPTN berserakan dimana-mana. Aku pun tidak kalah hebohnya, duduk di depan layar komputer memandangi jam di sudut kiri layar hingga menunjukkan pukul 20.00 WITA. Sederet nomor pendaftaran yang kuhafal di luar kepala bersiap-siap untuk diketik. Akhirnya... 20.01.. Hening. 20.10... Aku masih ragu. Masih diliputi beragam kemungkinan yang masih menari-nari di pikiranku. 20.11.... Tarik nafas. Perlahan aku memasukkan semua data yang diminta. Aku memejamkan mata. Satu detik... Dua detik.... Tiga detik..... Mataku belum ingin membuka dirinya. Ketika kupaksakan, akhirnya ia menyerah. Mataku terbuka. Sedetik kemudian, jeritanku terdengar. Lega. Dia lulus! Sahabatku lulus. Segera aku menghubunginya. Mengatakan 'LULUS' membuatku nyaris menangis. Padahal aku tidak begitu yakin dia akan lulus mengingat dia terlalu santai menghadapi SNMPTN. Hahah, ternyata keberuntungan berpihak padanya, pada kami. Kami LULUS melalui jalan yang berbeda namun dipertemukan pada satu titik temu di ujung sana. Dan setelahnya, kami berbicara mengenai kehidupan kami selanjutnya. Kami akan pindah, kami akan hidup sekamar di bawah satu atap. Berdua. Tumbuh dewasa bersama. Mungkin Tuhan mengerti bahwa aku tidak bisa hidup sendiri. Jadi dia menciptakan CITRA DIAN PERTIWI untuk menemani hari-hariku yang tanpanya akan sepi.
|